GUBERNUR UNGKAP TOTAL SELURUH KORBAN MATI DARI GEMPA BESAR SULAWESI
GUBERNUR UNGKAP TOTAL SELURUH KORBAN MATI DARI GEMPA BESAR SULAWESI |
Menurut gubernur, penghitungan akhir ditetapkan dalam keputusan gubernur tentang korban gempa bumi, tsunami dan pencairan pada bulan September 2018 dan dalam sebuah surat yang diteruskan ke Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk pencairan bantuan keuangan bagi para penyintas.
Hampir setengah dari kematian, yaitu 2.141, terjadi di Palu, yang paling terkena dampak gempa bumi dan tsunami, sementara 289 orang tewas di Kabupaten Sigi, 212 di Kabupaten Donggala dan 15 di Kabupaten Parigi Moutong. Sebanyak 667 orang dinyatakan hilang, sementara 1.016 mayat lainnya tidak dapat diidentifikasi. Hitungan terakhir adalah 4.340, katanya kepada The Jakarta Post.
Keputusan tersebut juga menetapkan jumlah kerusakan akhir, mengungkapkan bahwa 17.293 bangunan rusak ringan, 12.717 bangunan lainnya mengalami kerusakan sedang, 9.181 kerusakan parah dan 3.673 dinyatakan hilang. Bangunan yang rusak terdaftar di berbagai lokasi yang terkena dampak gempa.
Pemerintah Sulawesi Tengah telah mengusulkan kepada Kementerian Sosial untuk menyalurkan bantuan keuangan kepada kerabat korban berikutnya, yang seharusnya menerima Rp15 juta (US $ 1.062) per orang. Administrasi juga mengusulkan kepada BNPB untuk memberikan bantuan tunai kepada pemilik rumah yang rusak.
Mereka yang rumahnya rusak terletak di zona merah, atau daerah rawan bencana, berhak atas perumahan sementara dan permanen dan akan diberikan bantuan keuangan selama 60 hari pertama tinggal di perumahan sementara.
Sementara itu, setiap pemilik rumah yang rusak parah akan mendapatkan Rp 50 juta dan bantuan untuk 60 hari pertama tinggal di perumahan sementara. Pemilik rumah dengan kerusakan sedang dan ringan akan mendapatkan masing-masing Rp 25 juta dan Rp 10 juta. Beberapa orang yang selamat dari bencana masih tinggal di tempat penampungan.
Andi Kharisma, yang selamat dari Balaroa, yang sangat terpengaruh oleh pencairan tanah, mengungkapkan masalah yang berbeda di tempat penampungan, termasuk distribusi pasokan yang tidak merata dan kurangnya air bersih, yang memicu konflik di antara para penyintas dan sukarelawan.
Suatu kali, para pengungsi mengira bahwa [persediaan] telah sengaja disimpan di dalam sebuah gudang, jadi mereka menerobos masuk dan menurunkan logistik sendiri, katanya, menunjukkan bahwa para pengungsi tidak menerima dukungan material dalam dua bulan terakhir.
Dedy Askary, ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Sulawesi Tengah, mengkritik pemerintah provinsi karena manajemen pascabencana yang buruk, dengan mengatakan provinsi tersebut pantas mendapatkan hubungan buruk karena responsnya yang lambat terhadap bencana.
Dia menyebutkan status darurat yang sedang berlangsung di provinsi tersebut sebagai indikasi respons pemerintah yang lambat dan buruk. Korban harus tinggal lebih lama di tempat penampungan ketika mereka seharusnya pindah ke perumahan sementara, katanya.
Provinsi mengumumkan status darurat dari 13 Oktober hingga 26 Oktober 2018, dan memperkenalkan masa transisi dari darurat ke rehabilitasi dan rekonstruksi dari 26 Oktober hingga 25 Desember 2018. Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk memiliki semua Pengungsi pindah ke perumahan sementara selama periode transisi tetapi gagal memenuhi target, kata Dedi.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan melaporkan pada bulan Januari bahwa kementerian hanya menyelesaikan 217 dari 699 unit rumah sementara. Setiap unit terdiri dari 12 kamar 12 meter persegi. Kami telah menyerahkan 217 unit kepada pemerintah Sulawesi Tengah, Menteri Basuki Hadimuljo mengatakan dalam sebuah pernyataan.